Rabu, 23 Februari 2011

Begitu Berharganya Sang Waktu


2007-03-09 00:00:00
Oleh: Salsabila Zahrainy

“Demi Masa. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran” (QS. Al-Ashr: 1-3)

Subhanallah, Demi masa, demikian Allah bersumpah. Bukan hanya main-main pastinya, karena Allah menegaskan bahwa sesungguhnya manusia pasti akan merugi kalau tidak memperhatikan waktu. Waktu adalah kesempatan untuk berprestasi. Bagi orang-orang yang tidak mampu menggunakan waktu dialah orang yang dijamin bakal rugi, persis orang yang sudah mati.

Rasulullah bersabda:
“Perumpamaan orang yang mengingat Allah dengan orang yang tidak mengingatNya seperti orang yang hidup dengan orang yang mati”.
(HR. Bukhari dari Abu Musa Al Asy’ari)

Jika kita melihat umur Nabi yang wafat pada usia 63 tahun, maka umur umatnya pun tidak jauh berbeda, yakni sekitar 60 tahun. Waktu yang dimiliki manusia dalam sehari 24 jam. Hanya cara kita dalam menggunakan waktu sajalah yang membuat kita berbeda. Kalau dihitung-hitung, masing-masing waktu yang dimiliki oleh manusia adalah sama 60 detik dalam 1 menit, 60 menit dalam 1 jam dan 24 jam sehari, 7 hari sepekan dan seterusnya.

Banyak orang yang menghabiskan waktu tidurnya selama 8 jam. Kalau manusia umurnya rata-rata 60 tahun, maka dalam 60 tahun itu ia telah menggunakan 1/3 umurnya untuk tidur. Ya…! 20 tahun digunakan hanya untuk tidur. Masya Allah….
Innaa lillaahi wa’innaa ilaihi rooji’uun. Dan itulah kebanyakan manusia. Apakah kita termasuk golongan tersebut? Allahu a’lam bish shawab.

Ada 3 hal yang tidak pernah kita dapatkan kembali:
1. kata yang telah diucapkan
2. Waktu yang telah lewat
3. kesempatan yang diabaikan

Waktu yang dimiliki oleh setiap manusia tidaklah banyak. Manusia hanya memiliki 24 jam sehari, sementara manusia juga harus menyelesaikan “pekerjaan besar” seperti amanah mulia yang harus ditunaikan, obsesi besar yang mesti direalisasikan dan amalan-amalan lainnya. Namun manusia kadang tak merasa memiliki sebuah kewajiban sehingga banyak waktu dibuang-buang, kesempatan diabaikan, nasehat ditentang sehingga kebaikan pun melayang. Ironisnya manusia juga sering beralasan dan mengeluh karena banyaknya beban dan tak mampu menunaikan kewajiban, lalu waktulah yang disalahkan. Padahal itu terjadi lebih karena kita tidak menata waktu dengan cermat, suka menunda-nunda pekerjaan sehingga tak mampu menolong diri sendiri apalagi membantu orang lain.

Sadarilah bahwa waktu kita sedikit. Imam Sofyan Ats Tsauri mengatakan:
“Sesungguhnya aku sangat menginginkan satu tahun saja dari seluruh usiaku seperti Ibnu Mubarak. Tapi aku tidak mampu melakukannya. Bahkan dalam tiga hari sekalipun.”
(Nuzhatul Fudhala, 2/655 – dari buku Berjuang di Dunia Berharap Pertemuan di Surga)

Pada umumnya kebiasaan manusia-manusia besar adalah mengurangi jam tidurnya, waktu bekerja dan kesibukan mengurus duniawi untuk memenuhi kebutuhan ukhrawi. Mereka menyedikitkan waktu tidur untuk bisa bangun malam. Mereka sedikit bercanda untuk merasakan nikmatnya ibadah. Mereka tidak berlebihan dalam bergaul untuk merasakan lezatnya iman. Mereka menahan diri dari maksiat agar tubuhnya tetap sehat.

Karena waktu kita sedikit, kesempatan yang ada di dunia ini begitu sempit, mengapa kita tidak mengoptimalkannya untuk menjadi bekal di masa-masa sulit di hari di mana tiada lagi berguna harta dan anak-anak kecuali yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. Kebanyakan manusia sering melalaikan waktu, akibatnya mereka mudah sekali kehilangan kesempatan, karena hal-hal berikut ini:

1. Kurang sensitif terhadap kebaikan

“Sesungguhnya orang-orang mukmin hanyalah mereka yang apabila disebutkan asma Allah maka bergetarlah hatinya, dan apabila disebutkan ayat-ayatNya menjadi bertambahlah imannya dan kepada Rabbnya mereka bertawakal.” (QS.Al Anfal: 2-4)

“Barangsiapa bergembira atas kebaikannya dan bersedih atas keburukannya, maka dia adalah seorang mukmin.” (Diriwayatkan Thabrani dari Abu Musa ra.)

Sering hilangnya kesempatan dari diri kita, lenyapnya momentum dari depan kita karena iman tak lagi menyala. Hatinya tidak sensitif menangkap sinyal kebaikan. Karena hati itu seperti power control yang menggerakkan. Jangan biarkan ada anggota tubuh yang tidak kompak, sehingga memperlambat informasi dan membuang waktu. Jangan biarkan waktu terbuang dan tersisa.

Sebagaimana nasehat Imam Al Ghazali:
“Setiap anggota tubuh harus ditunaikan zakatnya kepada Allah, kebijaksanaanNya dan kekuasaanNya. Zakatnya mata adalah melihat dengan mengambil Ibrah dari yang dilihat dan menghindari dari yang diharamkan. Zakatnya telinga adalah mendengarkan pada sesuatu yang menjamin keselamatanmu dari api neraka. Zakatnya lisan adalah berbicara yang mendekatkan kepada Allah. Zakatnya tangan ialah menahannya dari keburukan dan mengarahkannya pada kebaikan. Zakatnya kaki adalah berusaha melakukan apa yang baik bagi hatimu dan keselamatan agamamu.” (Ihya’ Ulumuddin)
2. Tidak Memiliki Ilmu

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (QS. Al Mujadilah: 11)

Ayat di atas sangat jelas dan tidak terbantahkan lagi. Orang yang sukses dan mampu meledakkan potensinya mengambil setiap waktu, peluang dan kesempatan adalah mereka yang tahu, peka, sensitif dan proaktif memaknai ilmunya sebagai bekal.
Beberapa potret langsung orang yang tidak punya ilmu bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Mereka banyak membuang-buang waktu, tidak efektif dan efisien dalam melakukan pekerjaan, tidak tertata dalam urusannya sehingga tidak banyak manfaat baik bagi dirinya maupun orang lain.
Tanpa ilmu, manusia tidak akan mampu menegakkan aturan dan syari’at Allah dengan sukses. Karena ilmu merupakan salah satu pintu untuk meraih hidayah Allah Subhaanahu wa Ta’ala, yakni hidayah iman.
Tanpa ilmu sedikit sekali yang dapat diperbuat manusia dalam hidupnya. Selama ini ada anggapan sempit bahwa menuntut ilmu hanya dalam bangku akademik, lembaga formal, pondok pesantren dan sejenis majelis taklim saja. Padahal tidak, ilmu bisa didapat dimana saja, terminal, jalanan, warung kopi, dll.

Ilmu itu adalah modal. Begitu sial nasib orang yang tidak punya ilmu. Orang lain bisa merebut kesempatan-kesempatan meraih sukses, meraih keutamaan di waktu-waktu prima untuk ibadah dan doa, sementara ia tak punya apa-apa untuk mendapatkannya. Jika tidak mempunyai ilmu, seseorang tidak mendapatkan keuntungan apa-apa. Ilmu adalah kunci untuk membuka pintu kebaikan kesuksesan. Kunci untuk menjawab pertanyaan dan masalah di dunia maupun kunci untuk menjawab pertanyaan malaikat di alam kubur dan di akhirat: waktumu untuk apa, masa mudamu kau habiskan kemana, hartamu darimana kamu dapat dan kau gunakan untuk apa, dan ilmumu kau kemanakan?

3. Karena Allah Menunda Kesuksesan Kita

“Barangsiapa yang bersungguh-sungguh berjihad di jalan (agama) Kami, sungguh benar-benar akan Kami tunjukkan jalan-jalan Kami, dan Allah beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. AlAnkabut:69)

“Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong agama Allah maka Allah akan menolongmu dan mengokohkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad:7)

Kesuksesan itu Sunatullah. Diberikan kepada orang yang professional. Kita harus bersungguh-sungguh dalam meraih kesuksesan. Salah satu bentuk kesungguhan itu adalah kelurusan niat, visi, emmanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya dan berorientasi untuk membela kebenaran dan keyakinan. Bila kita membela dan memenangkan agama Allah, Dia akan membela dan memenangkan kita. Ini adalah janji Allah dan sekali-kali Allah tiada akan pernah menyalahi janjiNya.

4. Karena Tidak Proaktif

Kesempatan itu sejalan dengan waktu. Sifatnya sangat cepat berlalu. Maka hanya orang-orang sensitive yang mampu menangkap momentum itu untuk meledakkan potensinya menjadi prestasi. Setelah membekali dengan iman, ilmu dan memohon petunjuk dari Allah, kita perlu mengasah kecerdasan dan kepekaan hati agar senantiasa proaktif memaknai waktu dan kesempatan yang ada, menjemput bola bukan sekedar menunggu gawang.

Orang-orang yang dikabulkan doanya sesungguhnya kedahsyatannya bukan pada doa itu sendiri tetapi lebih kepada ketulusan, kedekatan, keyakinan dan seringnya dia mengisi “daftar hadir” di saat orang absen karena tertidur dan terbuai nikmat duniawi maupun terlalu disibukkan oleh perkara yang mengotori hati.

Banyak orang yang sukses dan berprestasi luar biasa karena kedalaman pemikirannya serta selalu mengambil pelajaran (ibrah) dari lingkungan sekitarnya dan selalu memanfaatkan setiap waktu dengan sebaik-baiknya. Tentunya hal itu disertai juga dengan komitmen dan keistiqomahan serta keikhlasan yang murni. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar